“TIA!!!!!”, teriak sebuah suara yang sudah sangat akrab di telingaku. Suara yang hampir setiap hari aku dengar.
“Tunggu, El!” sambutku. Aku lalu bergegas keluar kamar dan menuju Ruang Tamu yang berada di lantai bawah.
Di depanku sudah berdiri laki-laki yang sedang asyik mengupil.
“Pagi-pagi jorok amat sih lo!” aku memukul mukanya menggunakan karton tugas Biologi.
Setelah berpamitan, aku dan Ello pun pergi menuju sekolah kami yang memang tak jauh dari rumah.
“Gue ketemu dia kemaren, di Minimarket!” kata Ello memulai pembicaraan kami. Kami menyusuri jalanan yang setiap hari kami lalui.
“Terus?” jawabku seadanya.
“Yah, gue ajak dia ngobrol. Anaknya asyik, bener banget kayak orang bilang, baru sekali ini gue berani ngajak dia ngobrol sejak kita pertama kali kenal, waktu SMP.”
“Berarti loe udah ada kemajuan, jangan sampe berenti di tengah jalan. Kalo suka gak usah pakek malu-malu kayak waktu SMP, kita kan udah SMA, udah bisa di bilang dewasalah,” nasehatku.
“Sampe ada waktu yang tepat, gue bakal nembak dia kok!” ucapnya yakin sekali.
“Gue percaya, tapi loe jangan ngulur-ngulur waktu terus, entar dia diambil orang baru tahu rasa!”
***
Tok. Tok. Tok.
Pintu kamarku diketuk. Berisik sekali. Aku bangun dengan enggan. Siapa yang membangunkanku tengah malam seperti ini. Aku membuka pintunya, dan tidak ada siapa-siapa. Oh My GOD, apa ini mimpi? Benar-benar sangat mengganggu!
Tok. Tok. Tok. Tiaa....
Suara itu muncul lagi, dan kali ini juga diiringi dengan namaku. Aku memasang telingaku. Apa aku tidak salah dengar? Dari mana suara itu berasal?
Tok. Tok. Tok. TIAAA...
Aku diam, dan akhirnya aku tau darimana suara itu berasal. Suara itu ternyata berasal dari jendela kamarku. Dan tak ada orang gila lain yang membangunkanku selain Ello!
Aku membuka jendelaku enggan.
“Ngapain sih loe?” tanyaku kesal. Aku mengucek mataku memastikan bahwa orang gila ini benar-benar nyata.
“Gue mau cerita, Ti!” Dia lalu masuk begitu saja ke kamarku dan lalu berbaring, meletakkan tangannya di bawah kepala. Santai sekali.
Aku duduk di kursi yang letaknya tak jauh dari meja belajarku.
“Cerita apaan sih emangnya? Gak bisa nunggu besok apa?” tanyaku sewot.
“Gak bisa, Ti. Ini hot news. Gue gak mau loe dibilang kuper karena tahu berita ini besok! Loe harus tahu sekarang juga!” Ello sangat bersemangat dan berapi-api. Ganti profesi dia sekarang, jadi PaGos, Bapak Gossip .
“Gue jadian sama Rere!”
Aku tak kaget. Yah, karena akhir-akhir ini mereka memang sedang PeDeKaTe. Yang aku rasakan sekarang Cuma, sedikit rasa sakit. Sakit yang dengan sempurna kutahan. Dan aku tak tahu apa penyebabnya.
“Gue bahagia banget, Ti.” Ello lalu berdiri dan memelukku erat. Perasaan gembiranya mengaliri tubuhku. Perasaan cintanya menusuk jantungku. Dan aku hanya berdiri, sama sekali tak berniat membalas pelukannya. Air mataku keluar, oh, gawat, jangan sampai Ello melihatnya, tetapi aku terlambat. Ello sudah melepaskan pelukannya dan mendapati pipiku yang basah.
“Loe kenapa, Ti?” tanyanya khawatir. Aku terdiam. Aku mau jawab apa? Sampai lima menit kemudian, aku angkat bicara.
“Ngantuk GOBLOK! Gue nguap dari tadi, loe gak liat? Udah sana pulang, besok lanjut lagi!” usirku sambil mendorong tubuhnya ke arah jendela.
“Huh. Jelek loe! Ya udah, gue pulang dulu, eh tapi sebelumnya...,” dia memelukku kembali.
“Gue seneng banget, Ti, cinta gue gak bertepuk sebelah tangan, setelah hampir 5 tahun!” kali ini, aku membalas pelukannya. Setidaknya, bisa mengurangi airmataku, tapi jelas menambah rasa sakit di hatiku. Pelukan yang sangat hangat.
***
“Ini bagus gak, Ti? tanyanya kepadaku yang asyik melihat kertas-kertas kado.
“Emm, kurang tuh, yang di sebelahnya tuh lumayan!” jawabku sambil menunjuk ke arah boneka beruang besar berwarna Pink.
“Yang kayak gini, dia udah punya, gue pernah liat di fotonya. Jangan yang sama dong!”
“Oh, ya udah beli barang yang lain aja.”
“Apaan coba?” ia mengernyitkan dahinya.
“Novel.’’
“Bener juga loe, dia kan suka baca juga. Yok!” Dia menarik tanganku menuju lantai tiga, tempat novel-novel berada.
“Aduh, gue gak ngerti nih yang beginian, loe deh yang milih, mumet gue liat tuh novel!” Ello menggaruk kepalanya yang aku yakin tidak gatal sama sekali. Aku pun menelusuri novel demi novel. Membaca sinopsis dan akhirnya aku terpaku pada sebuah novel yang berjudul Jingga Dalam Elegi.
“Nih,” aku memberikan buku itu ke Ello.
“Yakin ini bagus?” tanyanya.
“Loe meragukan kemampuan gue dalam memilih novel?” aku pun berlalu meninggalkan Ello setelah menginjak kakinya terlebih dahulu. Ia pun meringis lalu bergegas menuju kasir.
***
“Udah loe kasih novelnya?” tanyaku kepada Ello yang sedang berjalan di sampingku.
“Udah, kayaknya dia seneng deh, thanks yah udah milihin novel yang pas,” Ello lalu menyodorkan sebuah novel kepadaku.
“Apaan nih?” tanyaku sambil menerima novel itu dan seperti biasa, membaca sinopsisnya.
“Buat loe, sebagai tanda terima kasih gue. Eh, dia udah nunggu, gue pulang duluan ya!” Ello lalu berlalu meninggalkanku yang masih asyik membaca sinopsis novel itu. Ketika aku melihat ke depan, dia sudah berlalu dengan sepeda motornya bersama Rere.
Novel komedi. Semester Disaster. Aku tersenyum.
“Salah kasih tu anak, gue kan bukan Mahasiswa yang lagi ngerjain skripsi.”
Aku lalu memasukkan Novel itu ke dalam tas, dan aku rasa, senyumku belum kunjung hilang.
***
“Ti, loe masih dengerin gue gak sih?” tanya Ello kesal.
“Iya, gue dengerin loe, DOL! Lanjut aja. Telinga gue masih berfungsi kok walaupun tangan gue asyik ngetik gini!” aku terus melanjutkan tugasku. Sejak dua jam yang lalu dia tak berhenti membicarakan pacar tercintanya itu.
“Ngetik apa sih dari tadi asyik banget?” Ello menuju ke arahku dan melihat ke arah laptopku.
“Tugas apa tuh?” tanyanya.
“Penjas. Loe udah?”
“Emang ada yah?”
Aku menimpuk kepalanya dengan buku Kimia yang Na’udzubillah tebalnya.
“Gila loe. Aduuh,” ia meringis.
“Loe sih keterlaluan, sama tugas aja lupa. Minggu kemaren tugas ini dikasih.”
“Lupa gue, ya udah, tolong kerjain punya gue juga, yaa,” pintanya santai, lalu kembali menekuri Hapenya.
Aku hanya diam.
“Oh iya, gimana novel yang gue kasih itu, bagus gak?” tanyanya tanpa melepaskan pandangan dari hapenya.
“Iya iya bagus. Lucu banget, gini nih ceritanya........” Giliran aku yang bercerita, dan matanya sudah terlihat lima watt.
***
“Cemburu itu gak salah, El, tapi tetep dalam porsinya,” nasihatku. Kami sedang berada di teras rumah Ello yang sangat sejuk, hijau sejauh mata memandang. Ibu Ello sangat rajin merawat tanaman-tanaman yang ada di rumahnya. Tak aneh jika aku betah berlama-lama disini.
“Gue cemburu masih dalam porsinya, kok, wajar gue cemburu, dia terlalu banyak deket sama cowok, Ti.” Muka Ello sangat tidak bersahabat, tak seperti biasanya. Akhir-akhir ini memang begitu keadaannya, moodnya kadang-kadang bisa berubah dengan cepat.
“Itu resiko loe punya cewek cantik. Hal yang wajar kalo banyak cowok yang ngedeketin dia, dan naksir sama dia.”
“Mereka harusnya ngerti dong, mereka tau kok gue pacarnya, tapi mereka kayak nggak ngehargain gue sebagai cowoknya, coba mereka ada di posisi gue, gue yakin mereka juga punya perasaan yang sama kok kayak gue!”
“El, loe tahu kan prinsip anak muda jaman sekarang, selama janur kuning belum melengkung, seseorang itu masih milik bersama!”
Ello terdiam. Sepertinya kata-kataku tadi keterlaluan.
***
Oke, untuk kesekiankalinya aku berdebat seperti tadi dengan Ello. Sekarang aku sendirian di teras rumahnya. Dan dia meninggalkan aku dengan alasan mengantuk. Huh.
Persahabatanku dengannya sudah aneh sekarang.
Aku tidak bisa bilang ini semua karena Rere.
Dulu, Ello itu orang yang sangat pendiam. Kecuali dengan aku pastinya. Karena kami sudah kenal sejak kecil. Dia tak banyak bicara. Lalu sejak dia mengenal Rere, tepatnya SMP, dia perlahan-lahan berubah. Lebih supel, ramah, suka bercanda, dan tidak ada lagi Ello yang pendiam.
Dan sekarang aku sudah terbiasa dengan sikapnya itu. Aku memang merasakan dampak positif dalam perubahannya. Dia lebih banyak teman dan lebih banyak disukai orang.
Tetapi, sejak dia benar-benar sedang dekat dengan Rere, dia banyak menghabiskan waktunya dengan Rere. Oh, aku tidak marah. Aku hanya sedikit kecewa karena waktunya yang biasa dihabiskan denganku, harus terbagi, bukan terbagi dua, tetapi terbagi tiga, satu untukku, dan dua untuk Rere.
Dia sudah jarang menjemputku sekolah lagi, karena dia membawa motornya untuk menjemput kekasih hatinya. Setiap malam, biasanya kami menghabiskan malam dengan bercerita berbagai hal, tetapi sekarang, setiap malam adalah waktunya untuk menghubungi pacarnya. Malam minggu bukan jadwal aku dan dia main PS lagi, tapi jadwal dia untuk mendatangi Rere.
Aku tidak berhak marah, walaupun aku ingin marah.
***
“Gue masih sayang dia, Ti. Sayang banget. Gue gak mau kehilangan dia. Loe tahu kan gimana perjuangan gue buat ngedapetin dia? Gue gak bisa semudah itu ngelepasin dia!” Kepala Ello tertunduk. Ia menutup wajahnya dengan kedua tangannya. Aku yakin, ia pasti menangis.
Dan aku tak tahu kata-kata apa yang bisa aku ucapkan untuk menenangkannya. Aku hanya terdiam dan merangkul pundaknya.
“Hidup loe gak berhenti gitu aja kalau dia mutusin loe, El. Masih ada gue yang sayang banget sama loe. Dia bilang itu keputusan yang terbaik untuk dia dan seharusnya loe terima itu.”
Kata-kata itu tertahan di pikiranku. Aku tak tahu mengapa aku tak bisa mengucapkan sepatah katapun. Dia memelukku sangat erat, betapa rapuhnya kamu karena seorang Rere, El.
***
“Sumpah, Yun. Gue ngerasa bersalah banget. Gue mutusin dia secara sepihak. Tapi, gue Cuma gak mau dia terlalu sayang sama gue, karena loe tau kan hati gue cuma milik Ryann?” Rere menangis sambil memeluk sahabatnya, Yunie. Aku terdiam mendengarkan pembicaraan itu.
“Loe salah Re, khususnya dalam sudut pandang Ello. Loe mutusin orang yang sayang banget sama loe, demi Ryann. Ryann yang sekarang aja kita gak tau dia dimana,” Yunie akhirnya mengeluarkan pendapatnya.
“Gue gak perduli, Yun. Yang gue tahu gue sayang banget sama dia dan dia udah buat janji sama gue.”
“Janji? Loe yakin? Sebuah ucapan yang dia bisikkin ke telinga loe, waktu perpisahan, dua tahun lalu, dan loe bilang itu janji? Loe mau gitu aja nunggu dia?”
“Gue mau nunggu dia karena gue udah sayang banget sama dia. Dan gue yakin itu emang janji dia ke gue. Dia bakal dateng, Yun. Gue yakin dia bakal tepatin janji dia ke gue!”
“Janji anak SMP maksud loe? Kalian dulu masih kecil Re buat mikirin janji setia kayak gitu. Lupain dia dan balik ke Ello!”
“Enggak. Di hati gue Cuma ada Ryann!”
Aku tak dapat berkata apa-apa. Aku hanya terdiam, mereka tak mengetahui keberadaanku.
***
“Dia mau kasih gue kesempatan, Ti!” kalimat yang tiba-tiba menghujam jantungku. Pagi-pagi, aku sudah mendapatkan kabar seperti itu dari dia via SMS. Aku terduduk. Airmata seketika saja membasahi pipiku. Sebelumnya, kesempatan untukku itu sempat terbuka. Dan dalam sekejap, hilang lagi. Tak adakah sedikit celah untuk aku mengisi hatimu, El? Aku berbaring dan membiarkan tangisku pecah. Aku sudah tidak sanggup lagi membendungnya. Hatiku terasa begitu sakit. Aku lalu membiarkan diriku terlelap, tanpa memperdulikan ketukan pintu, ketukan jendela, maupun panggilan dari siapapun.
***
“Loe kenapa sih, El? Tiba-tiba kayak gini ke gue? Gue salah apa?” tanyaku bertubi-tubi kepada Ello yang ketika itu sedang duduk di teras rumahnya. Susah sekali akhir-akhir ini aku mencarinya. Entah memang sedang sibuk atau malah menghindar.
“Gak ada apa-apa kok sama gue.” Dia hanya melihat ke depan, sama sekali tak menatap mataku.
“Kalo gue salah, gue mau loe ngomong sama gue, gak pakek diem-diem kayak gini!”
“Loe gak salah apa-apa, Ti. Yang salah itu ada di diri gue. Gue gak mau kesalahan gue mencintai Rere terulang lagi, itu aja.”
“Gue perjelas yah sama loe. Gue bukan dia. Gue gak sama dengan dia!”
“Dan gue gak mungkin nyakitin loe, kayak apa yang dia lakuin ke loe!”
“Gue gak tahu, Ti. Inilah gue!”
“Gue Cuma pengen ngeliat loe yang dulu!”
“Gak bisa.”
“Kenapa?? Apa sebegitu berharganya Rere buat loe? Jadi apa arti gue selama ini buat loe? Temen? SH*T!”
“Dan kayaknya loe salah kalo ngomong gue berubah. Ini gue, Ti. Ello. Tetep Ello yang dulu. Loe tahu kan gimana gue “dulu”?”
“Gue pengen liat loe yang dulu ramah, suka bercanda, bukannya loe dulu yang pendiem dan gak ada ekspresi kayak gini.”
“Ello yang loe kenal selama ini, itu bukan Ello yang sebenernya. Ello yang loe rasa selama ini, bukan Ello yang sesungguhnya, Ti.”
Aku terdiam. Dan aku kembali menitikkan airmata. Aku berdiri terpaku melihat dia yang sekarang meninggalkanku sendiri di teras rumahnya. Aku tak bisa bergerak dan aku tak ingin bergerak. Ello yang aku cintai telah pergi, Ello yang selama ini aku sayangi adalah Ello yang semu, tak nyata, dan tak tergapai. Tolong, kembalikan aku ke dunia nyata, agar aku berhenti memimpikan Elloku yang dulu kembali bersamaku. Aku terduduk. Airmataku benar-benar tak dapat berhenti lagi.
***
“Aku yakin sekarang. Aku mencintai Ello. Ello yang pendiam, Ello yang ramah, Ello yang kadang tak mempedulikanku, dan Ello yang manapun. Aku mencintai kamu apa adanya, El.”
Aku berlari keluar kamar dan segera menuju rumahnya.
Nb: Cerita ini hanya fiktif belaka :D
Cerpen ini terinspirasi dari sebuah lagu yang berjudul sama dengan judul cerpen ini, dengan penyanyi Tia - Ello - Rere - Ryann - Yunie = TERRY :D