Sabtu, 31 Maret 2012

just post a photo

Diposting oleh Endang Harahap di 9:18 PM 0 komentar

Kamis, 29 Maret 2012

Carly Rae Jepsen - Call Me Maybe (ngakak boleh? hahaha)

Diposting oleh Endang Harahap di 4:47 PM 0 komentar

Sabtu, 24 Maret 2012

Suatu Hari

Diposting oleh Endang Harahap di 9:10 AM 0 komentar
Suatu hari, suatu ketika, suatu saat
Aku pernah merasakan perasaan ini padanya.
Entahlah aku bisa memberi nama apa untuk perasaan ini.
Tetapi, aku menyimpulkan ini adalah perasaan rinduku padanya.

Aku hanya ingin dia berada di sampingku
Mendengarkan celotehku
Tersenyum dengan senyumnya itu
Dan menatapku dengan tatapan itu
Tetapi, entah kenapa membayangkannya saja aku tidak bisa

Tapi, ketika aku telah sadar siapa dia sebenarnya
Aku terpaku
Berhenti berharap
Karena aku tahu
Dia tidak akan pernah menjadi milikku
Dan aku tidak akan pernah bisa memberikan hati ini untuknya lagi

Aku tidak pernah menyesal mengenalnya dan dekat dengannya
Aku hanya menyesali kenapa aku pernah bertemu dengannya
Aku tidak pernah menyesal mencintainya setulus yang aku mampu
Aku hanya menyesal mengapa aku pernah menerima dia dalam hidupku

Mengapa aku masih mengingatnya sampai sekarang?
Mengapa aku masih meringis ketika mendengar lagu-lagu itu?
Mengapa hatiku masih terasa sakit ketika sadar dia mungkin tidak pernah mencintai aku?

Sedangkan ia mungkin telah melupakan aku
Sedangkan ia mungkin telah menemui yang lain
Sedangkan ia telah bahagia dengan hidupnya sekarang, tanpa aku.

Kamis, 22 Maret 2012

Cerpen 3

Diposting oleh Endang Harahap di 7:35 PM 0 komentar

            Aku menyusuri lorong sekolahku dengan hape di tangan dan headset di kedua telingaku. Aku berjalan santai tanpa memperdulikan orang-orang di sekitarku yang –aku tahu pasti- memperhatikan aku dari sudut-sudut mata mereka. Bukannya pede atau narsis, yah memang begitulah adanya. Namaku Yogie, Yogie Pranata. Single, muslim. Haha. Aku lumayan ganteng, tapi entah kenapa belum ada satu perempuan pun yang menyentuh hatiku. Emm, mungkin ada beberapa, tapi kesempatan yang membuat aku tidak mendapatkannya, katakanlah seperti itu.
            Aku membersihkan kelasku yang saat itu sangatlah kotor. Aku piket hari ini, dan terpaksa datang lebih cepat dari biasanya. Ini hari kamis, aku sangat berharap kamis itu datangnya sebulan sekali. Seorang laki-laki menghalangi sinar matahari yang menerangiku dari tadi. Jadi ingat dengan iklan--SI jangkung ngelindungin aku—aku tertawa dalam hati. Aku tersenyum untuk menyambut kedatangan makhluk subhanallah paling cuek ini, seperti biasa, dengan headset di telinganya. Dia melewati aku begitu saja, seperti tidak melihatku sama sekali. Sabar-pikirku, memang seperti itulah dia rupanya. Sedikit membuat penasaran memang. Laki-laki yang ganteng ini memang akhir-akhir ini menyita perhatianku, karena kecuekannya, karena ketidakpeduliannya, dan karena gantengnya, hha, aku tidak munafik, dia memang ganteng, tinggi, putih, dan cukup menarik. Aku yakin, ia tidak mengingat namaku sama sekali.
            Gadis ini, tiba-tiba datang di hidupku dengan keceriaanya yang begitu mencolok untukku. Awalnya aku tidak terbiasa dengan sikapnya yang meledak-ledak, penuh kejutan, dan lucu. Jarang sekali perempuan lucu seperti dia ini, pure-alami-natural. Itu yang aku tangkap pertama kali dari gadis ini. Di kelas 3 ini, aku sekelas dengannya, sering kedapatan satu kelompok tugas, dan mulai membiasakan memperhatikannya, padahal dulu, aku bahkan tidak ingat sama sekali namanya. Entah karena apa aku perlahan-lahan mulai memperhatikannya, membalas sapaan setiap paginya, membalas pesan singkatnya, memperhatikan gerak-geriknya yang aku tahu begitu lincah dan terkesan ceroboh. Jika aku ingin jujur, dia bukan tipeku sama sekali, berlebihan sekali memang, tapi yah begitulah adanya. Tipe perempuanku itu, putih, tinggi, cantik, langsing, dan berambut panjang. Dia hanya satu dalam criteria itu, berambut panjang. Aku baru sadar, aku suka sekali rambutnya, tapi dia terlalu sering menguncir rambutnya, padahal aku suka kalau rambutnya dibiarkan tergerai. Tapi, dia bukan tipeku, kujelaskan sekali lagi.
            “Lagi dengerin lagu apa sih, Gik?” aku bertanya kepada Yogie yang akhir-akhir ini lebih sering duduk di sampingku.
            “I wishnya One Direction, mau denger?” Ia menawari satu headsetnya untukku. Aku mengambilnya dan mulai mendengarkan lagu itu. Aku tidak pernah suka lagu Barat, ribet dan membingungkan, tapi akhir-akhir ini, aku lebih sering mendengar lagu-lagu itu sebelum tidur, yah karena orang di sampingku ini. Dulunya, paling banter yang aku tau Cuma Westlife dan Avril, gak ada yang lain.
            “Bagus kan? Gue bakal nembak dia pakek lagu ini perpisahan nanti.”
            Aku kaget, tidak sepenuhnya kaget sih, tapi lumayan. Dia sudah punya gebetan, menyedihkan memang, tapi mau tak mau aku harus menerimanya, lagipula, siapa aku? Hanya teman dan tak akan lebih kan? Lupakanlah. Kehidupan baruku dengannya telah dimulai sejak beberapa bulan yang lalu, sejak dia membuka sedikit hatinya untukku, sebagai teman baiknya.
            Ternyata memiliki pasangan itu begitu menyenangkan. Ada yang memperhatikan, ada yang mengingatkan, ada yang memberikan kasih sayang secara nyata selain keluarga. Dan yang lebih menyenangkan lagi, jika pasangan itu adalah orang yang kita cintai, dan terutama, sesuai dengan criteria kita. Pacarku, tepatnya, pacar pertamaku ini, cantik, tinggi, langging, putih, apalagi yang kurang? Mencintainya begitu menyenangkan, membuat aku bangun setiap pagi dengan perasaan bahagia luar biasa, sehingga terkadang aku tak tahu bagaimana menggambarkannya.
            Kisah percintaanku menjadi trending topic selama beberapa minggu, bukan sombong, tapi begitulah adanya. Kata teman-temanku, pasangan yang sangat serasi, yang satu cantik, yang satu lagi – ehem – ganteng. Aku tak henti-hentinya memandang wajahnya jika kami sedang berdua, tak henti-hentinya menggombal, dan itu bukanlah kebiasaanku. Dia membuat kehidupanku berubah 3600. Aku tak secuek dulu, aku lebih suka membaur dengan orang lain, lebih banyak berbicara dibandingkan yang dulu, dan itu seperti membawa aura lain dalam diriku, yang dulunya gelap, sekarang terang – katakanlah begitu -. Tapi ada satu yang aku kurang suka darinya, rambutnya pendek, hanya sebahu, tapi itu tak menjadi masalah, toh aku mencintainya bukan?
            Tentang teman baikku itu, Dea, dia tetap jadi teman baikku. Awalnya, aku pikir ada perasaan aneh yang muncul di sekitarku ketika bersamanya, tapi aku mencoba menepisnya, karena aku tak “cinta” dia. Aku tak “cinta” keseleborannya, aku tak “cinta” ketidakpeduliannya terhadap penampilan. Dia memang tidak jorok atau norak, tapi dia terlalu masa bodoh dengan penampilan, tidak seperti perempuan kebanyakan. Rambutnya selalu dipotong Mamanya, tidak pernah ke salon, tidak suka dandan, sehingga dia begitu biasa, alami. Tapi aku rasa aku suka sikapnya, sikap baiknya, sikapnya yang apa adanya.
            Apa dengan putusnya dia dari pacarnya itu membuka peluang untukku? Tidak sama sekali. Aku memang tetap menyayangi dia, tapi dia tidak sedikit pun mengetahui perasaanku ini. Aku tau diri. Dia terlalu tampan untukku, jadi terlihat sekali kesenjangan jika kami berdua, kecuali jika kami hanya berteman, hal itu tidak menjadi masalah. Sekarang kami sudah menjalani masa kuliah di perguruan tinggi yang berbeda, tapi kami tidak pernah lost-contact. Sms-an itu pasti. Dan curhat-curhatan apa lagi. Pernah suatu saat dia mengajak aku jalan, makan-makan biasa. Dan seperti biasa, dia menyikapi aku dengan sikap cueknya jika di depan orang banyak, entahlah, tapi aku rasa, sikapnya saat berdua denganku lain dengan sikapnya jika di depan orang banyak. Aku mulai menarik diri dari kehidupannya, tepatnya dari perasaan cintaku padanya. Yah, aku mencintainya, entah sejak kapan, karena apa, dan bagaimana awalnya, perasaan itu tiba-tiba saja muncul tanpa sempat aku tahan.
            Akhir-akhir ini perasaanku tidak enak, makan malas, kuliah tidak semangat, dan tidur tak nyenyak. Seminggu ini aku tak mendapat kabar darinya, sedikitpun. Nomornya tidak aktif, smsku tak pernah dibalas, bagaimana lagi aku bisa menghubunginya? Aku tak tahu dimana rumahnya, yang aku tahu hanya daerah rumahnya saja. Mengapa gadis itu tidak menghubungiku sama sekali? Ada apa? Apa aku membuatnya marah? Atau ada sesuatu terjadi padanya? Aku mengutuk diriku sendiri yang tidak pernah ingin tahu dimana rumahnya. Aku tidak habis akal. Esoknya, aku berangkat menuju kampusnya, kampus yang tidak pernah aku datangi. Tapi, harus bertanya dengan siapa aku?
            “Mbak, ini bener ya jurusan Sistem Informasi?” tanyaku kepada dua orang wanita yang sedang berjalan hendak melewatiku.
            “Oh, SI disana, Mas, ini TI,” katanya sambil menunjukkan ke arah belakangku, sepertinya aku berjalan terlalu jauh. Setelah mengucapkan terima kasih, aku menuju tempat yang ditunjukkan oleh wanita tadi. Daerah disana cukup sepi, tetapi untungnya ada beberapa orang yang kemudian keluar dari sebuah ruangan tak jauh dari tempatku berdiri. Aku menanyakan kepada mereka dimana keberadaan Dea, dan mereka ternyata mengenalnya, berarti aku tidak bertanya dengan orang yang salah, ternyata lagi, Dea sudah pulang dari beberapa menit yang lalu. Aku mendesah pelan, menyusahkan saja gadis itu.
            Seharusnya aku menerima dia dari awal. Aku tahu dia mencintaiku, tetapi aku malah mencoba menghindarinya dan terus saja berharap terhadap sesuatu yang sangat tidak pasti. Hadi namanya, dia teman sekampus, tetapi beda jurusan denganku. Dia memang sudah menunjukkan tanda-tanda “dia suka aku” dari beberapa bulan yang lalu. Sekarang aku sedang duduk berdua dengannya. Dia sedang menunggu jawabanku atas permintaannya untuk menjadi pacarnya. Yah, dia telah menyatakan perasaannya kepadaku, kejadian barusan berputar-putar di otakku ketika dia dengan tegasnya – tetapi aku tahu pasti dia gugup, terlihat dari tangannya yang berkeringat – menyatakan perasaannya kepadaku.
            “Seharusnya kamu udah tahu kenapa aku ngajak kamu kesini. Kamu juga udah tahu pasti apa yang mau aku omongin, tapi biarin aku yang ngejelasinnya, biar aku juga gak memendam perasaan ini lama-lama. Aku tahu kamu pasti gak percaya sama yang namanya cinta pada pandangan pertama, dulu aku juga kayak gitu, tetapi aku berubah pendapat sejak ketemu sama kamu, mata aku mungkin bisa bilang kamu gak ada pengaruh apa-apa sama hidup aku, tetapi enggak sama hati aku. Aku gak bermaksud untuk gombal, gak bermaksud untuk ngerayu kamu. Tetapi, perasaan aku semakin jelas sejak aku kenal kamu lebih dekat, aku suka sama cara bicara kamu, aku suka sama keseloboran kamu – aku gak bohong – dan aku suka sama semua hal tentang kamu. Ada yang hilang kalau kamu gak ada. Oke, kamu mungkin bisa bilang aku terlalu berlebihan, tetapi apa salahnya kalau kamu percaya sama aku. Kamu boleh gak ngasih hati kamu seutuhnya sama aku, tetapi aku harap kamu kasih aku kesempatan untuk ngedapetinnya. Aku sayang kamu, Dea.”
            Aku tidak pernah mendengar kalimat seindah itu, aku tidak pernah menyangka kalimat itu keluar dari mulut Hadi, Hadi yang, yah begitulah, terdengar aneh kalau ia yang mengutarakannya. Aku terdiam. Dilema kembali menjalari tubuhku. Di satu sisi, aku sangat terkesan dengan kata-katanya, dengan sikapnya selama ini, dengan semua kebaikan dan perhatiannya, tapi di sisi lain, ada seseorang yang aku harapkan duduk di depanku sekarang, aku rasa bukan Hadi, tapi seseorang yang lain. Hadi menatapku dengan tatapan penuh harap kurasa, matanya tak pernah segugup ini, dia selalu tegas menatapku.
            “Baiklah, sebelum kamu menjawab pertanyaanku – oh menanggapi pernyataanku- maksudku, aku akan menunjukkanmu satu hal, eh dua hal, aduh aku mulai lupa, mungkin beberapa hal.” Ia beranjak dari tempat duduknya, dan berdiri sambil melihat ke sekeliling.
            “Maaf mengganggu,” ia berbicara kepada semua orang yang ada di Kafe ini, wajahku pasti sudah memerah, dan aku merasa sangat malu dan gugup, dia melanjutkan,”Gadis di depanku ini adalah orang yang aku sangat cintai, maukah kalian membantuku untuk berkata “Hadi mencintaimu dengan sepenuh hati, Dea” kumohon.”
            “Hadi, hentikan, apa yang kamu lakukan hah?” kataku pelan, malah terdengar berbisik.
Dan tidak perlu menunggu satu menit, mereka sudah berkata bersama-sama,”Hadi mencintaimu dengan sepenuh hati, Dea!”
            “Terimalah dia, kulihat dia pria yang tampan dan baik.” Seorang pria yang berjaket hitam di ujung sana menambahkan.
            “Jika aku menjadi dirimu, Dea, aku tidak akan berfikir dua kali untuk menerimanya!” wanita yang sepertinya sedang hamil tak jauh dari meja kami ikut menambah riuh suasana.
            Hadi akhirnya duduk dan tidak memberiku kesempatan untuk menanggapi perbuatannya. Tiba-tiba dari arah dapur Kafe itu, seorang laki-laki tampan dan berjas menghampiri kami sambil membawa buket bunga yang menurutku cukup besar dan berlutut di depanku.
            “Kau harus menerimanya dear, aku jamin dia akan menjagamu.”
            Aku menerima bunga itu dan belum sempat lagi aku mengatakan satu patah kata, Hadi di depanku sudah memegang gitar dan menyanyikan sebuah lagu, lagu yang familiar di telingaku, Gotta Be You-nya One Direction, salah satu lagu favoritku, dan akhirnya ia bertanya,”Would you be my girl, Dea?” Suasana disana tiba-tiba hening dan aku tahu pasti, wajahku terlihat konyol sekarang, rasa senang-kaget-terharu dan tak dapat aku gambarkan. Ketika aku mencoba membuka mulut, tiba-tiba seseorang telah ada di depanku, entah sejak kapan, lalu berkata,
            “Maaf aku mengganggu, aku Yogie, Yogie Pranata, teman satu SMA Dea, dan aku menyayanginya!”
            Kakiku lemas. Aku tidak tahu harus berkata apalagi. Kenapa tiba-tiba hal ini terjadi begitu saja. Jantungku berdegup sangat kencang, lebih kencang dari yang pernah aku bayangkan. Lelaki itu, menatap penuh harap dengan seorang gadis di depannya, yang aku tahu, gadis itu adalah orang yang aku cari selama ini. Bukan selama dia tidak menghubungiku, tetapi selama hidupku. Tiba-tiba saja aku berlari ke dalam kafe itu dan berdiri di depan gadis yang diam-diam ternyata aku sayangi itu.
            “Maaf aku mengganggu, aku Yogie, Yogie Pranata, teman satu SMA Dea, dan aku menyayanginya!”
            Kalimat itu begitu saja meluncur dari bibirku, begitu tegas, tanpa aku sadar, aku bisa setegas itu berkata pada saat yang sangat tidak tepat. Beberapa orang – oh tidak, semua orang – menatapku heran.
            Kau datang di saat yang tidak tepat Yogie, sangat tidak tepat. Kau bodoh – oh tidak, kau lebih dari orang bodoh -!
            “Maaf, biarkan aku menyatakan perasaanku terhadapnya selama ini,” ia menoleh kepada Hadi, dan Hadi mengangguk samar.
            “Aku, aku merasa aneh tanpa kamu, Dea, segalanya terasa tidak benar jika tanpa kamu, segalanya terasa aneh dan janggal. Terimalah aku dalam hidupmu Dea, buatlah hidupku menjadi lengkap dengan kehadiranmu.”
            Lelaki bodoh macam apa kamu hah? Bodoh, bodoh, bodoh.
            “Maaf, aku menerima Hadi, bukan kamu Yogie Pranata.” Aku menitikkan airmataku. Ada apa ini? Mengapa aku menangis?
            “Terimakasih, Dea. Sebaiknya Anda segera meninggalkan tempat ini, Sir.” Kata Hadi dengan senyum sekilas.
            Kakiku bertambah lemas, energy yang timbul ketika aku mengutarakan perasaanku tiba-tiba saja menguap entah kemana. Apa yang dikatakannya? Aku tidak melihat kalimat itu benar dari matanya, dia berbohong, kenapa dia menangis. Aku berjalan keluar dari kafe dengan sangat lemas. Sepertinya aku bisa terduduk kapan saja sangking lemasnya. Aku berbalik.
            “Jangan pernah memberikan harapan kepada orang lain jika kamu akan mengabaikannya nantinya!” aku dan dia tiba-tiba mengatakan hal yang sama. Bersamaan dengan emosi yang hampir sama. Aku menuju ke arahnya  dan memeluknya. Dan tak akan pernah melepaskannya lagi.





Jumat, 16 Maret 2012

Diposting oleh Endang Harahap di 10:29 PM 0 komentar

Senin, 12 Maret 2012

Diposting oleh Endang Harahap di 7:23 PM 0 komentar
YA ALLAH
BOLEH YA AKU NGERASA CAPEK, KESEL, BENCI, GAK SUKA !!!
SUMPAH DEMI APAPUN, KADANG NGERASA CAPEK BERDIRI SEBAGAI AKU DISINI.
KENAPA AKU GAK BISA JADI ORANG LAIN?
KENAPA AKU GAK BISA KAYAK ORANG LAIN?
KENAPA AKU HARUS JADI AKU?

Kamis, 08 Maret 2012

Diposting oleh Endang Harahap di 4:03 PM 0 komentar

Selasa, 06 Maret 2012

IT'S TRUE GUYS !

Diposting oleh Endang Harahap di 7:23 PM 0 komentar
hari ini sekedar kayak biasa, buka ₋buka facebook, twitter, dan lain sebagainya. eh, inget waktu itu pernah gak sengaja ketemu fb orang  ₋lebih tepatnya teman ₋ fb nya yang lain, bukan fb utamanya, fb yang nunjukkin siapa sebenernya dia, dan kepikiran untuk sekedar iseng mau liat fb itu lagi, ada perkembangan atau enggak, itu kelakuan dia d fb yang lama atau masih berlanjut sampe sekarang, dan come on look at the profile
  

okey, itu dia profilenya. lalu iseng lagi ngeliatin SUBSCRIBEnya. 
dia ngeSubscribe satu orang, seperti yang bisa diliat ini


keren banget kan, sampe 20 ribu lebih yang ngikutin tu orang GAK JELAS.
entah sama semua kali ya sifatnya itu.
dan dan dan finally yang PALING buat aku kaget, eh ternyata aku punya MUTUAL FRIEND sama manusia EKSIS itu , dan you know, siapa?????


he's .... oh GOD, forget it. 
dan ini udah aku jadiin pelajaran, bahwa  gak ada gak ada dan gak ada MANUSIAMANUSIA seperti dia di hidup aku.
oke, ini negara demokrasi, aku gak ngelarang sama sekali sama "sifat" kamu itu,
tapi seenggaknya gak perlu deh nutupin "sifat" kamu itu dengan cara MEMBOHONGI orang lain dan MENYAKITI hatinya, okey boy :)

jadi kamu apa adanya aja orang lain juga bakal suka kok, karena semua negara juga terima, *loh? hahaha

 






 

La vita é bella ♥ Template by Ipietoon Blogger Template | Gadget Review